Menjadi bidan di desa yang sangat
terpencil di Jawa Barat, bagi Eulis Rosmiati, dianggap sebagai pengabdian.
Hingga kini, 20 tahun sudah dia mengabdi. Masyarakat desa itu yang semula
berpola hidup sangat tradisional sedikit demi sedikit berhasil diubah menjadi
lebih maju. Jumat lalu (15/7), Eulis menerima penghargaan sebagai bidan
teladan.
DHIMAS GINANJAR, Jakarta
SENYUM ramah terpancar di wajah
Eulis. Dengan logat Sunda yang kental, dia menyambut ramah kedatangan Jawa Pos
yang menemuinya di sebuah rumah makan di kawasan SCBD, Jakarta Selatan, Kamis
pekan lalu (14/7).
Sehari-hari, Eulis bekerja sebagai
bidan di Desa Ujung Genteng, Sukabumi, Jawa Barat. Hari itu, dia berada di
Jakarta karena menerima penghargaan sebagai bidan teladan.
Dengan senyum mengembang,
Eulis mengungkapkan bahwa dirinya sangat gembira menerima penghargaan tersebut. "Gara-gara saya dapat penghargaan ini, Pak Gubernur (Gubernur Jabar Ahmad Heryawan) akhirnya berkunjung ke desa kami," kata perempuan 41 tahun tersebut.
Eulis mengungkapkan bahwa dirinya sangat gembira menerima penghargaan tersebut. "Gara-gara saya dapat penghargaan ini, Pak Gubernur (Gubernur Jabar Ahmad Heryawan) akhirnya berkunjung ke desa kami," kata perempuan 41 tahun tersebut.
Tidak hanya itu, ketika berkunjung
ke desa tersebut, gubernur sempat menjanjikan kepada Eulis untuk segera
membangun puskesmas. Begitu menyebut puskesmas, dua mata Eulis terlihat
berkaca-kaca. Tak lama berselang, air matanya jatuh membasahi pipi. "Saya
sangat senang. Sebab, sampai sekarang, desa kami tidak punya puskesmas,"
ungkapnya dengan suara bergetar lantas terisak.
Pendirian puskesmas memang menjadi
dambaan Eulis. Sebab, selama ini, penanganan kesehatan warga di desa itu hanya
bisa dilakukan seadanya di pondok kesehatan desa (poskesdes). Maklum, jarak
puskesmas terdekat dari desa tersebut mencapai 30 km. Ongkos sekali jalan saat
siang mencapai Rp 50 ribu dan naik 100 persen saat malam.
Ujung Genteng adalah sebuah desa di
Sukabumi yang dihuni 4.438 penduduk dengan 1.251 KK (kepala keluarga). Potret
sebagai desa tertinggal terlihat pada jumlah keluarga prasejahtera yang
mencapai separonya. Sisanya termasuk dalam keluarga sejahtera 1 (mudah jatuh
miskin).
Menurut Eulis, sangat sulit menuju
Desa Ujung Genteng. Sebab, tidak banyak kendaraan umum yang tersedia. Selain
itu, kondisi jalan masih sangat parah karena berlubang-lubang dan
berkelok-kelok. Dari Kota Sukabumi, sedikitnya butuh lima jam perjalanan dengan
mobil untuk menuju desa itu.
"Ketika awal-awal bertugas di
desa itu pada 1991, saya sempat gundah," ceritanya. "Minimnya sarana
dan infrastruktur serta sulitnya medan yang harus saya tempuh sempat membuat
saya hampir menyerah," lanjutnya. Namun, kondisi yang sulit tersebut
justru memacu semangatnya.
Yang menjadi cambuk bagi Eulis kala
itu, di desa tersebut tidak ada lagi bidan. Sulitnya medan juga membuat dia
yakin bahwa warga sangat mengandalkan kehadiran dirinya. Harapan tinggi
wargalah yang akhirnya membuat lulusan sekolah bidan di Bandung tersebut
bertekad untuk bisa berbuat sesuatu.
Dia mulai mempelajari karakteristik
warga. Mulai pola menjaga kesehatan, budaya dalam persalinan, hingga penanganan
dalam keadaan darurat. "Ternyata, semua masih dilakukan secara tradisional
dengan sedikit klenik," jelasnya.
Dia lantas mencontohkan masalah
persalinan. Setiap ibu yang akan bersalin (melahirkan) selalu dibawa ke dapur.
Tak cukup itu, si ibu harus berada di kolong tempat tidur. Di kolong sempit
itulah sang ibu berjuang melahirkan bayi bersama dukun. "Menurut keyakinan
mereka, ibu melahirkan itu kotor. Karena itu, harus dibawa ke dapur,"
tuturnya.
Tidak hanya itu, jaminan kesehatan
masyarakat (jamkesmas) dan jaminan persalinan (jampersal) hampir tidak berarti
bagi warga Desa Ujung Genteng. Semua itu percuma. Sebab, untuk menuju rumah
sakit terdekat, yakni RS Jampang, jaraknya mencapai 60 km dari Desa Ujung
Genteng. Sebelum RS tersebut didirikan sekitar 2004, warga Ujung Genteng harus
menuju wilayah Sekar Wangi, Sukabumi, dengan jarak 160 km.?
Yang membuat Eulis geregetan, warga
desa sering ditolak masuk RS karena pasien sudah membeludak. Karena tanggung
untuk balik ke desa, akhirnya mereka terpaksa mencari RS lain. Ibu tiga anak
itu pernah menangani kasus persalinan dan terpaksa membawa ke Bogor hanya untuk
berobat. "Transpornya saja sudah habis Rp 1 juta," ungkapnya.
Akhirnya, dia berpikir agar warga
desa bisa mandiri. Saat panas-panasnya reformasi 1998, Eulis mulai menjalankan
strateginya memberdayakan warga desa. Dia mulai membentuk kelompok arisan WC.
Tujuannya, meningkatkan jumlah WC di setiap RT. Maklum, saat itu, sangat
sedikit warga yang mempunyai WC di rumahnya. "Harapan saya, kesehatan warga
bisa membaik," terangnya.
Cara arisan WC itu, warga saling
memberikan subsidi silang untuk membuat WC. Dari program tersebut, jumlah WC di
tiap-tiap RT meningkat. Kalau sebelumnya hanya 500 orang yang punya WC,
sekarang sudah tinggal 100-an rumah yang tanpa WC. Eulis mengklaim, warga saat
ini lebih bersih dan kesehatannya juga meningkat.
Selain itu, dia menciptakan program
arisan sebagai dana cadangan kalau ada keperluan pengobatan dan biaya
persalinan. Agar warga mau bergabung, program tersebut diberi nama unik:
"Seliber".?Singkatan dari seliter beras. Yakni, program pengumpulan
beras bagi para warga yang bekerja sebagai petani dengan cara mengumpulkan dua
sendok beras setiap hari.
Dari program tersebut, dalam
sebulan, setiap petani mempunyai 60 sendok beras yang setara dengan seliter
beras. Beras dari seluruh petani itu dikumpulkan dan dijual kepada tengkulak.
Hasilnya, uang tersebut dijadikan dana simpanan untuk keadaan darurat.
"Gampangnya, petani yang butuh uang untuk berobat tinggal mengajukan,"
jelasnya.
Bagi para nelayan, ada pula
arisannya, yakni Meronce Kasih. Polanya sama seperti arisan seliber. Bedanya,
pada arisan Meronce Kasih, nelayan mengumpulkan sekilo ikan dengan kualitas
paling rendah setiap pergi melaut. Pola yang sama diberlakukan bagi penyadap
gula aren dengan mengumpulkan 2 kg aren per bulan.
Para penambang pasir juga memiliki
arisannya, yakni diberi nama Limaribu Kasih. Caranya, mengumpulkan Rp 5.000
setiap bulan. Tidak hanya itu, Eulis juga menciptakan jaminan asuransi
kesehatan yang disebut Askes Lembur. Itu merupakan asuransi kesehatan yang
hanya berlaku di lembur (sebutan kampung, Red). "Semua untuk dana darurat
kesehatan," paparnya.
Kemudian, dia menggagas rumah
singgah. Yakni, pemberdayaan rumah warga sebagai tempat persalinan yang layak
untuk ibu bersalin. Gagasan rumah singgah itu muncul karena pengalaman Eulis
mengantarkan seorang ibu bersalin ke puskesmas terdekat saat malam dan hujan.
"Medan yang berat membuat mobil terperosok di salah satu ruas jalan,"
kenangnya.
Dia lantas berjalan kembali ke desa
dan membangunkan hampir seluruh warga RT untuk membantu membebaskan mobil yang
terjebak di lumpur selama hampir sejam itu. Tidak mau kejadian tersebut
terulang, dia lantas bernegosiasi dengan warga untuk menyediakan rumah mereka
sebagai rumah singgah.
Warga yang memiliki rumah di tengah
jalan dirayu agar mau menyediakan satu kamar untuk persalinan. Tidak mudah
memang. Dengan berbagai alasan, akhirnya ada juga warga yang bersedia. Rumah
singgah tersebut kemudian dilengkapi perlengkapan persalinan. "Ruangannya
harus bersih, steril dan nyaman untuk persalinan," tambahnya.
Eulis juga rutin mengadakan Tabulin
(Tabungan Ibu Bersalin) yang berarti persiapan dana saat melahirkan. Setiap
hari, para ibu diminta mengumpulkan Rp 1.000. Uang tersebut nanti diberikan
kepada ibu yang melahirkan lebih dulu.
Untuk menghilangkan batas antara
wilayahnya dan daerah lain, dia menggugah warga untuk mendukung program
ambulans desa. Namun, bukan patungan untuk membeli ambulans. Warga yang
memiliki kendaraan seperti mobil, motor, atau kendaraan apa pun dimintai
komitmen untuk membantu warga. "Digunakan oleh warga yang memerlukan kapan
pun," tegasnya.
Saat ini, warga Desa Ujung Genteng
telah merasakan manfaat pemikiran Eulis. Kegigihan Eulis membuat dirinya
dinobatkan sebagai bidan teladan. Saat ini, dia masih menjadi satu-satunya
bidan di desa tersebut. Dia berharap gubernur tidak mengingkari janjinya untuk
membangun puskesmas.
Sumber: http://www.jpnn.com
Sumber: http://www.jpnn.com
2 komentar:
I wish you will better than her...
Iya insyallah, kak:) makanya doanya terus lho biar jadi bidan sekaligus penulis yang bisa bermanfaat buat yang lain:)
Tugasnya jangan lupa dikumpul lho... heheh. jazakallah kak uda follow:)
Posting Komentar