Ayo Tuliskan!!

Laman

Selasa, 24 Juli 2012

Eulis Rosmiati,20 Tahun Menjadi Bidan Di Desa Sangat Terpencil Dan Tertinggal


Menjadi bidan di desa yang sangat terpencil di Jawa Barat, bagi Eulis Rosmiati, dianggap sebagai pengabdian. Hingga kini, 20 tahun sudah dia mengabdi. Masyarakat desa itu yang semula berpola hidup sangat tradisional sedikit demi sedikit berhasil diubah menjadi lebih maju. Jumat lalu (15/7), Eulis menerima penghargaan sebagai bidan teladan.
DHIMAS GINANJAR, Jakarta
SENYUM ramah terpancar di wajah Eulis. Dengan logat Sunda yang kental, dia menyambut ramah kedatangan Jawa Pos yang menemuinya di sebuah rumah makan di kawasan SCBD, Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu (14/7).
Sehari-hari, Eulis bekerja sebagai bidan di Desa Ujung Genteng, Sukabumi, Jawa Barat. Hari itu, dia berada di Jakarta karena menerima penghargaan sebagai bidan teladan.
Dengan senyum mengembang,
Eulis mengungkapkan bahwa dirinya sangat gembira menerima penghargaan tersebut. "Gara-gara saya dapat penghargaan ini, Pak Gubernur (Gubernur Jabar Ahmad Heryawan) akhirnya berkunjung ke desa kami," kata perempuan 41 tahun tersebut.
Tidak hanya itu, ketika berkunjung ke desa tersebut, gubernur sempat menjanjikan kepada Eulis untuk segera membangun puskesmas. Begitu menyebut puskesmas, dua mata Eulis terlihat berkaca-kaca. Tak lama berselang, air matanya jatuh membasahi pipi. "Saya sangat senang. Sebab, sampai sekarang, desa kami tidak punya puskesmas," ungkapnya dengan suara bergetar lantas terisak.
Pendirian puskesmas memang menjadi dambaan Eulis. Sebab, selama ini, penanganan kesehatan warga di desa itu hanya bisa dilakukan seadanya di pondok kesehatan desa (poskesdes). Maklum, jarak puskesmas terdekat dari desa tersebut mencapai 30 km. Ongkos sekali jalan saat siang mencapai Rp 50 ribu dan naik 100 persen saat malam.
Ujung Genteng adalah sebuah desa di Sukabumi yang dihuni 4.438 penduduk dengan 1.251 KK (kepala keluarga). Potret sebagai desa tertinggal terlihat pada jumlah keluarga prasejahtera yang mencapai separonya. Sisanya termasuk dalam keluarga sejahtera 1 (mudah jatuh miskin).
Menurut Eulis, sangat sulit menuju Desa Ujung Genteng. Sebab, tidak banyak kendaraan umum yang tersedia. Selain itu, kondisi jalan masih sangat parah karena berlubang-lubang dan berkelok-kelok. Dari Kota Sukabumi, sedikitnya butuh lima jam perjalanan dengan mobil untuk menuju desa itu.
"Ketika awal-awal bertugas di desa itu pada 1991, saya sempat gundah," ceritanya. "Minimnya sarana dan infrastruktur serta sulitnya medan yang harus saya tempuh sempat membuat saya hampir menyerah," lanjutnya. Namun, kondisi yang sulit tersebut justru memacu semangatnya.
Yang menjadi cambuk bagi Eulis kala itu, di desa tersebut tidak ada lagi bidan. Sulitnya medan juga membuat dia yakin bahwa warga sangat mengandalkan kehadiran dirinya. Harapan tinggi wargalah yang akhirnya membuat lulusan sekolah bidan di Bandung tersebut bertekad untuk bisa berbuat sesuatu.
Dia mulai mempelajari karakteristik warga. Mulai pola menjaga kesehatan, budaya dalam persalinan, hingga penanganan dalam keadaan darurat. "Ternyata, semua masih dilakukan secara tradisional dengan sedikit klenik," jelasnya.
Dia lantas mencontohkan masalah persalinan. Setiap ibu yang akan bersalin (melahirkan) selalu dibawa ke dapur. Tak cukup itu, si ibu harus berada di kolong tempat tidur. Di kolong sempit itulah sang ibu berjuang melahirkan bayi bersama dukun. "Menurut keyakinan mereka, ibu melahirkan itu kotor. Karena itu, harus dibawa ke dapur," tuturnya.
Tidak hanya itu, jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) dan jaminan persalinan (jampersal) hampir tidak berarti bagi warga Desa Ujung Genteng. Semua itu percuma. Sebab, untuk menuju rumah sakit terdekat, yakni RS Jampang, jaraknya mencapai 60 km dari Desa Ujung Genteng. Sebelum RS tersebut didirikan sekitar 2004, warga Ujung Genteng harus menuju wilayah Sekar Wangi, Sukabumi, dengan jarak 160 km.?
Yang membuat Eulis geregetan, warga desa sering ditolak masuk RS karena pasien sudah membeludak. Karena tanggung untuk balik ke desa, akhirnya mereka terpaksa mencari RS lain. Ibu tiga anak itu pernah menangani kasus persalinan dan terpaksa membawa ke Bogor hanya untuk berobat. "Transpornya saja sudah habis Rp 1 juta," ungkapnya.
Akhirnya, dia berpikir agar warga desa bisa mandiri. Saat panas-panasnya reformasi 1998, Eulis mulai menjalankan strateginya memberdayakan warga desa. Dia mulai membentuk kelompok arisan WC. Tujuannya, meningkatkan jumlah WC di setiap RT. Maklum, saat itu, sangat sedikit warga yang mempunyai WC di rumahnya. "Harapan saya, kesehatan warga bisa membaik," terangnya.
Cara arisan WC itu, warga saling memberikan subsidi silang untuk membuat WC. Dari program tersebut, jumlah WC di tiap-tiap RT meningkat. Kalau sebelumnya hanya 500 orang yang punya WC, sekarang sudah tinggal 100-an rumah yang tanpa WC. Eulis mengklaim, warga saat ini lebih bersih dan kesehatannya juga meningkat.
Selain itu, dia menciptakan program arisan sebagai dana cadangan kalau ada keperluan pengobatan dan biaya persalinan. Agar warga mau bergabung, program tersebut diberi nama unik: "Seliber".?Singkatan dari seliter beras. Yakni, program pengumpulan beras bagi para warga yang bekerja sebagai petani dengan cara mengumpulkan dua sendok beras setiap hari.
Dari program tersebut, dalam sebulan, setiap petani mempunyai 60 sendok beras yang setara dengan seliter beras. Beras dari seluruh petani itu dikumpulkan dan dijual kepada tengkulak. Hasilnya, uang tersebut dijadikan dana simpanan untuk keadaan darurat. "Gampangnya, petani yang butuh uang untuk berobat tinggal mengajukan," jelasnya.
Bagi para nelayan, ada pula arisannya, yakni Meronce Kasih. Polanya sama seperti arisan seliber. Bedanya, pada arisan Meronce Kasih, nelayan mengumpulkan sekilo ikan dengan kualitas paling rendah setiap pergi melaut. Pola yang sama diberlakukan bagi penyadap gula aren dengan mengumpulkan 2 kg aren per bulan.
Para penambang pasir juga memiliki arisannya, yakni diberi nama Limaribu Kasih. Caranya, mengumpulkan Rp 5.000 setiap bulan. Tidak hanya itu, Eulis juga menciptakan jaminan asuransi kesehatan yang disebut Askes Lembur. Itu merupakan asuransi kesehatan yang hanya berlaku di lembur (sebutan kampung, Red). "Semua untuk dana darurat kesehatan," paparnya.
Kemudian, dia menggagas rumah singgah. Yakni, pemberdayaan rumah warga sebagai tempat persalinan yang layak untuk ibu bersalin. Gagasan rumah singgah itu muncul karena pengalaman Eulis mengantarkan seorang ibu bersalin ke puskesmas terdekat saat malam dan hujan. "Medan yang berat membuat mobil terperosok di salah satu ruas jalan," kenangnya.
Dia lantas berjalan kembali ke desa dan membangunkan hampir seluruh warga RT untuk membantu membebaskan mobil yang terjebak di lumpur selama hampir sejam itu. Tidak mau kejadian tersebut terulang, dia lantas bernegosiasi dengan warga untuk menyediakan rumah mereka sebagai rumah singgah.
Warga yang memiliki rumah di tengah jalan dirayu agar mau menyediakan satu kamar untuk persalinan. Tidak mudah memang. Dengan berbagai alasan, akhirnya ada juga warga yang bersedia. Rumah singgah tersebut kemudian dilengkapi perlengkapan persalinan. "Ruangannya harus bersih, steril dan nyaman untuk persalinan," tambahnya.
Eulis juga rutin mengadakan Tabulin (Tabungan Ibu Bersalin) yang berarti persiapan dana saat melahirkan. Setiap hari, para ibu diminta mengumpulkan Rp 1.000. Uang tersebut nanti diberikan kepada ibu yang melahirkan lebih dulu.
Untuk menghilangkan batas antara wilayahnya dan daerah lain, dia menggugah warga untuk mendukung program ambulans desa. Namun, bukan patungan untuk membeli ambulans. Warga yang memiliki kendaraan seperti mobil, motor, atau kendaraan apa pun dimintai komitmen untuk membantu warga. "Digunakan oleh warga yang memerlukan kapan pun," tegasnya.
Saat ini, warga Desa Ujung Genteng telah merasakan manfaat pemikiran Eulis. Kegigihan Eulis membuat dirinya dinobatkan sebagai bidan teladan. Saat ini, dia masih menjadi satu-satunya bidan di desa tersebut. Dia berharap gubernur tidak mengingkari janjinya untuk membangun puskesmas.

Sumber: http://www.jpnn.com

2 komentar:

Anonim mengatakan...

I wish you will better than her...

Unknown mengatakan...

Iya insyallah, kak:) makanya doanya terus lho biar jadi bidan sekaligus penulis yang bisa bermanfaat buat yang lain:)

Tugasnya jangan lupa dikumpul lho... heheh. jazakallah kak uda follow:)