Masih teringat jelas ketika itu aku
kelas ujian, alias kelas 3 Mts. Sudah jadi kebiasaan bila aku tak punya kerjaan
di kamar dan teman-teman pada kluyuran pastinya aku memilih ke kamarnya mba. Sekedar
mencari suasana baru atau membongkar buku-bukunya. Entah kenapa juga sejak
kecil aku paling suka membongkar dan mba adalah tukang merapikannya. (itu dulu)
Sewaktu itu aku dan mba tinggal
dalam satu asrama, hanya saja beda lantai. Aku di lantai 3 kamar 3. Mba di
lantai 2 kamar triplex. Ya, cukup unik kamar mba ini karena di dalamnya memuat
banyak santri dan banyak triplex tentunya. Heheh ...
Setiap kali aku masuk di dalam
kadang aku canggung kadang juga biasa-biasa saja. Maklum senioritas dan
junioritas lumayan pekat ketika itu. Tapi
ini tak berlaku buat aku dan mba.
Bisa jadi karena hubungan kami yang tak bisa dipisahkan. Adik dan kakak.
Ketika itu aku ke kamar mba.
Langsung saja sebagaimana kebiasaanku langsung meniduri kasurnya yang selalu
tampak rapi. Itu dia yang paling kuingat. Kasur mba selalu rapi dibaluti dengan
spreinya yang sering gonta-ganti. Sangat pantas memang kalau selalu bisa
kuandalkan. Setidaknya status bungsuku sangat membantu menyalurkan bakatnya
itu. Bila kasurku berantakan terkadang mba bisa jadi pilihan. Mbaku paling
jempol deh sewaktu itu.
Bila dia belanja dia selalu tak lupa
membawa titipan untukku. Bila antrian mandi di pondok dulu begitu panjang dia
selalu mendahulukanku. Bila banjir mendadak datang dia sangat sibuk membereskan
barang-barangku. Selama 3 tahun aku MTs dia paling rajin mencuci bajuku.
Memperhatikan aku disetiap istirahat apalagi bila aku sakit mendadak. Mba,
memang jempolanku ketika aku berasrama dulu.
Seperti biasanya. Aku selalu
membongkar isi buku-bukunya yang ada tepat dibawah tempat tidur susun di
asrama. Hanya ingin melihat apakah ada buku menarik yang bisa aku baca atau
diari yang kadang tanpa minta permisi aku membacanya. Hehe... Bagiku ketika itu
tulisan-tulisan mba punya cita rasa yang tinggi. Aku suka semua diksinya dan
lagi-lagi jiwa bungsu itu ingin sekali mengekornya.
Sampai dimana sebuah detik aku
menemukan sebuah buku kecil. Aku membacanya. Kadang mengerti kadang tidak.
Kadang aku mengagumi kadang juga aku takjub luar biasa. Ahhh... Bahasanya
indah. Indah sekali bagiku ketika itu. Aku ingin seperti Mba.
Saking enaknya aku membaca tiba-tiba
saja mba datang dan mengagetkanku. Dan spontan aku bertanya buku tulis kecil
nan imut itu siapa yang menulisnya? Kalau dilihat dari tulisan. Aku kenal betul
itu tulisan mba namun bisa saja kan mba hanya ngejiplak. Hehe... Makanya aku
bertanya.
Ketika itu juga mba menjawab bahwa
dialah yang menulisnya. Hah? Benarkah itu? Cantik... Cantik.... Cantik. Aku bangga
sekaligus kesal. Kok adiknya nggak bisa ya kayak mbanya? Pikiranku begitu saat
itu.
Selanjutnya aku bertanya lagi.
"Bagaimana cara menulisnya?" Spontan Mba menjawab "Tulis aja.
Selesai". Aihhhh... Terlalu sederhana pikirku. Berkali-kali lagi aku bertanya
namun jawabannya pun memang hanya seperti itu. Se-simple itukah menulis? Aku bertanya. Jawabannya tetap sama.
Sederhana. Mengesalkan.
Sejak itu aku mengekor lagi dengan
kebiasaan mba. Meskipun kadang aku kesal kenapa tulisanku tak seindah rangkain
kata-kata Mba. Apa susunan sarafku berbeda dengan yang dimilikinya? Atau karena
dia berbakat dan aku tidak? Entah. Sejak itu aku menulis. Menulis apa saja.
Menerima apa saja yang berhasil aku tulis meskipun tak seindah kata-kata Mba. Ah,
mba memang inspirasiku. Memang pantas dia menjadi mbaku.
Makasih mbaq sayang. Lewat buku
kecilmu itu aku bertemu dengan duniaku. Lewat kata sederhanamu itu aku terus
maju meskipun paling banyak cemburu dengan rangkaian kata-katamu. Buku kecilmu?
Ajaib sekali menurutku. Dialah buku pertama yang menstimulasi menulis bagi
otakku . Lewat kepribadianmu yang mba bingitssss aku peroleh banyak ilmu.
Ternyata mama berhasil mencetakmu sebagai seorang kakak yang
"sesuatu".
Kau memang mencerminkan namamu
"Nur", cahaya, dihatiku. Yahh meskipun hingga detik ini nama itu
mulai bermutasi menjadi "Mba Nung/Nang" karena ulah lidahku yang baru
bisa mengucapkan "R" kelas 6 SD. Itu pun kamu yang tak bosan
mengajarkannya. Iyaaaaa... Kamu. Mba Nung! (ala Dodit comic. Heheh) Alhamdulillah
:)
#makinsakitmakinbaik kalau dulu nggak sakit nulis supaya tulisan mirip tulisanmu buku ini nggak bakalan bisa lahir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar