Imam Ibnu Jari ath-Thabari, salah seorang ulama yang hidup di abad ke-3 hijriah. Siapa yang kenal, hayo??
Tulisan ini teruntuk saudar/i ku yang belum mengenalnya ataupun yang lupa( bisa dimaklumi karena banyak nama yang tersimpan dibalik memori) siapa sih beliau??
Penulis yang banyak mengalirkan karya tulis! Jika dikalkulasi dengan usianya, maka dalam sehari beliau menulis sekitar 60 halaman. Padahal kan dizaman itu stok kertas terbatas, pena harus dicelupkan kedalam tinta. Belum ada zamannya copy-paste kayak sekarang ini. Tapi kalo dibandingkan dengan zaman kita sekarang ini yang serba instan. Berapa halaman coba yang bisa kita ajak menari “si polpen”, ataupun jari kita diatas keybord??
Bukan menempatkan diri kita sebagai seorang penulis yang produktif yang tentunya ketika mengenalnya melalui kata, kemudian tersindir. Bukan sama sekali!
Wajar, kita baru pemula yang ingin melejitkan pena menembus hati-hati yang terlelap ataupun menembus pemikiran yang masih keliru. Sehingga kata-kata kita mampu menjadi pintu pembuka ataupun jalan tengah untuk sekedar memberikan informasi pembanding dari bacaan lainnya.
So, tetapkan siapa idol kamu dalam hal tulis-menulis! Sekarang! Dan ikuti jejak langkahnya. Meskipun tak jumpa namun, jejak melalui karya-karyanya itu sudah cukup menjadi langkah awal kita melanjutkan tongkat estafet yang pernah kita ambil.
Tongkat yang mana?
Tentunya niat ketika memasuki FLP, disitulah letak tongkat yang pernah kita ambil. Tongkat tak akan pernah kita bawa lari sebelum kitanya sendiri yang membuktikan dengan sepenggal kata. Yang nantinya dengan semangat akan kita kelola dan kembangkan menjadi beragam halaman. Tapi bukan halaman rumah lho...heheh
Perlu kita ingat kembali bahwa proses menulis adalah multiproses. Why?
Proses menulis adalah serangkaian proses mendengar, menghafal dan menuangkan apa saja yang pernah kita hafalkan dengan akal. Jadi otomatis panca indra berlaku! Dan asal kita tahu nih, makin banyak aktivitas yang kita lakukan maka makin banyak pula sambungan sinapsis yang akan terbentuk.Yang imbasnya bakal melatih otak kita menjadi lebih nyambung terhadap hal-hal yang terjadi di alam sekitar. Kepekaan sosial.
Belum lagi dengan Imam Ibnu Al-Jauzi, yang telah banyak penulis jadikan sampel dalam hal ilmu. Beliau membaca tidak kurang dari 20.000 jilid buku. Beliau ini hidup di abad ke-6 hijriah. Artinya belum ada donk yang namanya mesin cetak, mesin foto copy, apalagi e-book seperti dizaman kita ini yang patut kita ajungkan jempol!
Tapi kebawah or keatas dulu???heheh
Melihat angka itu tentunya kita ter wah..wah. Ngos-ngosan mungkin, or ada yang perlu di tensi ini karena nyayian dup, lup, dup, lup-nya makin kencang. Nyantai dikit nggak papa ya? Cause nggak pengen matanya bete liat angka.
Palingan juga pada bertanya nih dalam ingatan. Kalo aku udah berapa buku ya?( maklum calon psikolog jadi rada-rada tahu). Lebayyyy ...(aminin donk)
Butuh kesanggupan ekstra untuk sekedar mendapatkan buku sebanyak itu. Apalagi membacanya? Busyettt...! Subhanallah itu bagusnya!
Tapi, kalo yang mau ikutan boleh, boleh saja. Silahkan, lagian kan nggak kena denda! Mumpung nggak ada undang-undang yang ngelarang. Malah undang-undang Tuhan yang nganjurin. Bacalah! Kalo dapat pahala ya Alhamdulillah, kalo nggak dapat juga biasa aja. Toh kita wajibnya usaha. Masalah hasil Wallahu Alam”.
Yang terpenting ingat, kalo baca jangan sambil baringan. Kalo perlu pake centian tuh , dibawa kemana-mana juga nggak apa-apa buat hitung jarak baca. Bentar matanya rusak gimana? Kan, kasihan juga hidungnya yang pada dapat kerjaan baru buat nanggung berat gagang. Ya kan? Ya donkkk...( teruntuk yang nggak pake kaca mata lho, bentar pada demo lagi yang pake kaca mata)
Tidak menerima demontrasi! Yang ada jual trasi ( tapi sekarang stok lagi habis! maaf)
Masih di Manado,08:12 AM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar