Terkadang lisan begitu cepat mengeluarkan kata tanpa membingkainya dengan berfikir. Baikkah yang akan dikatakan nanti? Menyakitkan orang atau tidak? Kira-kira nantinya orang berfikir apa ya? Apakah nantinya bermanfaat buat orang lain?
Sebaiknya begitulah fikiran kita sebelum menyerahkan sejumlah kata pada lisan. Jadi begitu logis kalau akal sebaiknya berada didepan lisan bukan sebaliknya. Kita harus bisa memahami setiap keragaman kepribadian orang lain agar dalam bergaul bisa secara tepat sasaran kita masuk, baik itu sekadar berbagi informasi, menasehati, bergurau ataupun sekedar sharing.
Mungkin kebanyakan kita berfikir. Kalo begitu kita harus mempelajari setiap kepribadian orang lain. Yup! Karena kepribadian orang itu banyak sebagaiman dikelompokan oleh berbagai penulis. Ada yang mengklasifikasinya sanguinis, phlegmatis, melankolis, perfeksiois dan masih banyak lagi. Memang solusi ini perlu dan baik karena dengan mempelajari kepribadian kita akan mudah mengklasifikasikan teman-teman, orang tua , dan siapa saja yang ada disekitaran kita. Untuk mengetahui bagaimana kriteria respon yang tepat.
Sehingga pada imbasnya dalam diri kita akan terbentuk sebuah dinding pembatas dalam hal berinteraksi dan menjalin hubungan dengan siapa saja. Karena modal berupa mengetahui orang lain telah kita isi dulu dalam memory. Maka bisa disimpulkan sebuah hal yang keliru jika kita bergaul hanya dengan orang yang baik-baik saja( sopan santun, pemaaf, cerdas dkk) sehingga kita terkadang mengabaikan teman yang terkenal gudangnya hewan dan kata-kata amis lainnya, judes, sombong dan sifat negatif lainnya. Padahal justru kita harus melakukakn pedekate dan perlu digaris bawahi kita tak boleh terikut arus.
Maka, sebelum mempelajari kepribadian orang lain kita sebaiknya mengenali dulu kepribadian kita. Kita buat antibodi yang kuat agar tak gampang terkena virus dari orang lain. Mencegah lebih baik dari pada mengobati! Prinsip inipun berlaku buat kita jika ditinjau dari sudut kepribadian.
Kiranya kita harus merenungi kembali tentang dialog panjang antara Abu Dzaar ra dengan Baginda Rasullullah SAW. Yang ketika itu Abu Dzaar memasuki mesjid dan menemukan Rasulullah duduk seorang diri. Maka Abu Dzaar mendekati dan duduk disamping Rasulullah dan terjadilah dialog panjang yang penuh hikmah. Ditutup dengan pesan Rasulullah berupa amalan kepada Abu Dzaar.
“ Apa yang engkau ketahui tentang dirimu akan mencegahmu mencampuri urusan orang lain dan janganlah engkau sesalkan bahwa orang tidak melakukan apa yang engkau sukai. Dan cukup sebagai aib bahwa engkau mengetahui tentang orang lain apa yang engkau tidak mengetahui tentang dirimu sendiri”
Kemudian Rasulullah memukul dada Abu Dzaar dengan tangannya seraya bersabda:
“ Tiada akal seperti kebijaksanaan, tiada wara seperti memahami diri dan tiada kebanggaan keturunan seperti akhlak yang baik”
Dari sini kita bisa menyimpulkan 3 poin penting yang berkaitan dengan memahami kepribadian orang lain.
Yang pertama, ternyata jauh sebelum bermunculan teori-teori kepribadian ternyata Rasulullah telah memesan untuk mempelajari tentang diri sendiri karena dari mempelajari maka secara refleks pelajaran yang kita temui dari diri sendiri akan mencegah kita mencampuri urusan orang lain. Dan ini tentunya logis, dimana setiap kita tak ingin urusannya dicampuri orang lain. Benar kan?
Yang kedua, sudah menjadi sebuah etika bagi seorang muslim untuk tidak menyesali setiap perbuatan orang lain yang tidak kita sukai. Meskipun menyesal adalah refleks, tapi jang terbawa arus oleh penyesalan itu sendiri. Dan tentunya yang tidak kita sukai kebanyakn refleks dari keinginan hati. Sebagaimana yang kita tahu bahwa hati selalu mendorong pada kebaikan. Jika ada sesuatu yang mengusik hati, itulah yang sering kita sebut tidak kita sukai berdasarkan tinjauan hati. Tinjauan yang paling hakiki.
Jadi belajar adalah solusi. Belajar dari ketidaksukaan sikap orang lain agar kita tidak menularkan ketidaksukaan kita pada orang lain. Dan coba kita mengingat kembali berbagai episode hidup yang pernah kita jalani. Mungkin kita pernah bersikap seperti yang ditunjuka norang lain yang tidak kita sukai?? Ingat! Lingkungan akan memberikan respon yang sama seperti apa yang pernah kita berikan.
Apa salahnya kita merubah racun menjadi susu?? Masa bisa?
Yah, kreatif cukup jadi pegangan sekaligus jawabanya. Merubah racun kata-kata yang menggores hati menjadi sebuah susu yang tidak meracuni hati kita untuk mengusik kembali, tapi justru menjadikan kita sehat dalam ruang hati yang terkadang berpolusi. Sehingga dibalik kandungan kalsiumnya yang tinggi bisa menguatkan kita. Agar di masa mendatang terhindar dari osteoporosis, yang akan menggerogoti hati kita menjadi mudah rapuh hanya karena hal yang tidak kita sukai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar