Saya jadi ngeh ketika membaca tema
yang diperlombakan. Ingin rasanya saya mengukir sebaris kata hati yang akan selalu tertuang dalam imajinasi. Zero to
Hero? Apakah hal ini memang pernah ada dala hidup saya? Jika memang pernah ada
kenapa Zero to Hero masih seperti roda? Kadang Zero to Hero tapi, terkadang
juga terbalik menjadi Hero to Zero. Tapi yam au gimana lagi, itulah kehidupan
selalu berputar makanya tak heran jika bumi bulat dan juga bisa menggelinding
hingga ke penguninya. Iya apa iya? Hee …
Dulu aku berlari cepat menembus setiap
selaput
Mugkinkah kini selaput keraguan
menjadi hero akan tembus?
Dulu kubertahan dalam ruang kecil
milik Ibu hingga keluar pun aku memiliki kaput
Aku
tak ingin duniaku penuh kabut
Kabut
takut, kecewa dalam menjalin hidup yang kini semraut
Kuberpikir
dalam batokku yang dulunya pernah membentuk kaput
Ternyata
kutercipta bukan untuk hidup semraut
Masih
ingatkah kita ketika kita kecil dulu? Belum tahu ini, itu dan banyak lagi yang
kita tak tahu. Bukan dihitung sejak kita usia satu bulan atau pun lima tahun.
Tapi saya yakin seyakin-yakinnya kalau kita semua tak pernah ingat bagaimana
super heronya kita ketika dalam Negeri rahim Bunda dulu. Negeri yang paling
luar biasa dalam dunia ini!
Dan
saya pun salah satu yang pernah hidup dalam dunia rahim. Anda juga kan? Saya
yakin saya sekarang adalah mewakili tingkah saya ketika kecil dulu yang begitu
menggemaskan (ngaku … tak apalah, siapa yang mau sewot? Hehe …) kenapa saya
mengemaskan? Ya, sudah jelas karena semua sel-sel yang saya miliki ketika itu
masih amat muda. Belum terlalu banyak terkontaminasi dengan beragam polusi,
baik itu polusi masalah ataupun polusi tagihan. Tagihan? Iya karena kita hidup
ini tidak gratis. Ada ibadah yang harus jadi nilai rupiah. Barter.
Saya
kecil dulu sangat super hero! Mau bukti?
Ketika
saya kecil dulu kalau jatuh pastinya saya bangkit kembali meskipun kadang harus
menangis karena sakit karena ulah darah yang mengalir. Mama dan Papa memang ada
untuk sudi membantu tapi, tetap saja saya yang harus berdiri. Dan tahukan Anda
sekarang pun saya seperti saya kecil dahulu yang mau berani bangkit meskipun
sakit. Hidup kan terus berjalan, kalau kita terjatuh masa tak bangkit? Anak
kecil saja bisa kenapa kita tidak? Nah, ini buktinya:
#
Ketika saya masuk asrama dulu tepatnya masih MTs saya masih biasa-biasa saja
sama seperti anak baru lulus SD. Prestasi pun masih di bawah rata-rata. Tak ada
yang menarik, tak ada yang patut dibanggakan dan tak ada yang layak menjadi
landasan mereka bertepuk tangan.
Ketika
di asrama dulu saya melihat langsung bagaimana tekunnya teman saya belajar
hingga akhirnya dia juara satu dalam kelas untuk rapot umum. Kalau rapot
pesantren saya tak pernah ikhlas mewariskan buat teman-teman lain. Saya pun tak
tahu kenapa bisa begitu? Yang saya tahu namanya pelajaran Agama yang saya ingat
hanya wajah Mama. Itu saja tak lebih, makanya saya begitu rajin medalaminya. Apa
mungkin karena pereda rindu anak asrama?
Ketika
belajar tentang Islam yang terbayang dalam otak saya hanya Mama. Karena ketika
saya SD dulu Mama yang selalu mengingatkan saya ke mesjid untuk mengaji. Dan
kebetulan mesjid tempat mengaji saya ada tempat permainannya jadilah setiap jam
istirahat saya gembira karena bisa bermain ayunan, timbang bolong dan lucuran.
Sebelum saya masuk SD pun Mama sudah memasukan saya di taman pengajian
sampai-sampai saya ketiduran ketika di mesjid, dan yang saya tahu saya sudah di
rumah. Rupanya Mba saya yang menggendong ketika itu. Mengembirakan. Makanya
belajar Islam buat saya menggembirakan.
Kembali
ke pebahasan awal, karena berhubung nilai rapot umum dan pesantren saya tak
seimbang saya pun terpacu untuk membuatnya menjadi seimbang. Bukan dari kemauan
sendiri tapi cara Allah menyadarkan saya itu yang sungguh sangat kreatif!
MasyaAllah. Memang benar kebahagiaan itu datang dari adanya keseimbangan.
Ketika
itu Ustadzah Nurhayati di depan kelas mencari saya. Dia sendiri sempat heran
apa saya benar adiknya Mba saya? Apa? Memang secara fisik kata orang kami tak
mirip apalagi soal bisa dan tidaknya ketika PBM, Mbaku jauh lebih uggul. Sejak
SD dia memang selalu masuk tiga besar. Jauh berbeda denganku yang selalu
mewarisi 20 besar. Hinggga MTs pun Mba saya masih berprestasi. Saya? Memilih
merangkak mencari celah baru menuju ruang prestasi yang asing.
Anda
tahu apa yang Ustadzah saya katakan? Halilintar pun mungkin mengamini meskipun
di tengah siang bolong. Jilbab saya memang terasa bolong-bolong karena
mendengar kata-katanya yang menurut saya seperti ledakan kenyataan yang bisa membumihanguskan
sistem kekebalan alasan saya untuk tidak membantah. Membantah dengan diam yang
terpenting bisa menunjukan bukti, pikir saya. Bukankah bukti itu jauh lebih
dahsyat?
“Kamu ini kok beda sekali dengan kakak kamu?
Kakak kamu itu pintar biologi dan matematika. Di kelas juga dia pegang juara.
Kamu? Kamu itu harus banyak belajar dari Kakak kamu. Masa Kakakmu bisa kamu
nggak?” Ustadzah mata pelajaran Matematika sekaligus Biologi itu pun
menyengat kesadaran saya. Saya ingin menangis. Sejak SD kata-kata itu menempel
hingga selaput otak saya. Sel-selnya pun mungkin telah kriting dengan kata-kata
itu.
Entah,
kekuatan dari mana yang bisa menggerakan hati saya untuk membidani lahirnya
Zero to Hero muncul. Saya ingin membuktikan kalau saya pun bisa! Saya tak
terima dengan kata-kata itu. Kenapa rapot pesantren saya tidak diapresiasi
sekedar jadi seimbang? Kenapa bukan kata-kata untuk bisa mempertahankan nilai
saya yang keluar? Kenapa harus memojokkan? Saya kesal! Hingga saya tak sadar
itu menjadi sebuah dendam. Dendam positif!
Dendam
ingin menggungguli Mba saya! Itu saja. Mulailah dari situ saya belajar.
Meskipun saya sadar tipikal belajar saya harus di ruangan yang sepi. Saya
menunggu teman-teman tidur baru belajar. Saya belajar di ruang kosong tanpa
teman. Menurut teman lain saya mungkin sombong karena tak ingin bergabung. Tapi
saya tak peduli meskipun rasa tak enak itu jadi teman. Toh, saya hanya bisa nyaman
belajar ketika sepi ,siapa yang mau dan bisa mengganti?
Akhirnya
dari situlah awal mula juara satu saya, baik di rapot pesantren maupun rapot
umum bermuara. Hingga Aliyah saya tak pernah ikhas untuk mewarisi kepada teman
lainnya! So, tidak ikhlas itu boleh kan? Namun, mempertahankan semua itu jauh
lebih sulit! Tapi kesulitan yang baik itu pantasnya dirujuk pada Allah. Ya, 6
tahun saya memegang juara 1.
#
Lain lagi ketika saya masih MTs tepatnya masih kelas satu, saya mengikuti
ekskul kaligrafi di samping itu saya ikut juga atletik. Hitung-hitung mencari
bakat terpendam. Bukan atletik yang ingin saya kalikan panjang dan lebar tapi, lebih
ke kaligrafi. Karena kaligrafi yang paling banyak menyumbang poin hero buat
saya.
Ketika
itu yang mengikuti bidang kaligrafi hanya sedikit. Jari kanan dan kiri saya
mungkin masih muat untuk awal-awalnya tapi, setelah proses belajar berlangsung
tinggal jari kanan saya yang tersisa. Tapi bagaimanapun saya tetap antusias
dengan seni kaligrafi islam ini. Mungkin pengaruh juga karena Paman saya pun
hebat membuat kaligrafi. Tempelan di dinding rumah saya itu pun karya Paman
saya. Di situlah saya merasa kalau kaligrafi itu indah.
Saya
dan teman-teman lain masih semangat untuk berlatih. Meskipun terkadang saya
kecewa tak habisnya untuk membuat huruf alif saya bisa berdiri tegak. Tapi
tetap saja dia masih belum bersahabt dengan saya. Tapi alhmadulillah semakin saya banyak menggoreskan pena perlahan alif
saya berdiri tegak! Puas tapi belum cukup!
Akhirnya
saya pun belajar terus-menerus tapi masalah baru pun timbul. Hruf hijaiyah yang
kami pelajari teknik penulisannya akhirnya temui sebuah akhir. Ustad kami
pindah ke Gorontalo karena satu hal. Jadilah cinta bertepuk sebelah tangan.
Saya tak rela Ustad pindah. Bagaimana kelanjutan kaligrafi saya? Apa hanya
berujung sampai di sini saja?
Dengan
bahagia bercampur haru saya relakan Ustad pergi. Buku teknik penulisan
kaligrafi akhirnya Ustad berikan pada saya. Dia meyakinkan saya kalau saya
nantinya akan bisa seperti Ustad. Ustad saja yakin kenapa saya tidak? Kan Ustad
saya yang lebih tahu bagaimana kemampuan peserta didiknya? Saya pun mengamini
dengan berlatih otodidak.
Dan
ajang lomba pekan 17 agustus pun tiba. Saya mewakili kelas untuk mengikuti lomba
untuk tingak pesantren. Setiap kelas diwakili oleh seseorang mulai dari MTs,
Aliyah dan SMK. Dan Alhamdulillah
saya berhasil menjuarai lomba dalam bidang kaligrafi. Dan dari situlah awal
mula saya tak ingin ikhlas mewarisi juara 1 pada yang lain sekalipun kakak
tingkat. Dan juara 1 ini saya pertahankan setiap 17 Agustus selama 6 tahun saya
di pesantren.
Keyakinan
seorang Ustad itu ternyata benar. Jika ketika itu saya tidak meyakininya
mungkin saya tak akan pernah bisa. Dan Allah lah yang memudahkan semua itu buat
saya. Tapi sayang kaligrafi telah berakhir seiring saya telah lulus dari
pesantren. Saya memilih menulis saja untuk sekarang ini. Tapi tetap harus ada kontaminasi
konsep berpikir seorang kaligrafiler dalam setiap tulisan saya. Kaligrafi itu
indah maka saya pun harus bisa menulis dengan bahasa yang indah kaya akan
sastra dan makna sebagai pengganti cat. Deal?
` Dua
buah cerita yang mewakili zero to hero saya ini belum temui sebuah akhir.
Karena saya masih terhubung dengan beragam mimpi. Mimpi menjadi seorang penulis
dan harapan menjadi seorang bidan, itu mimpi dan harapan saya.
Dari
sinilah saya sadar, jika ketika saya kecil dulu tak pernah bisa bangkit saat terjatuh
meskipun dengan alunan tangis mungkin saya pun tak bisa meraih status hero.
Jadi tak salah jika saya memutusan sikap saya sekarang adalah cerminan dari
sikap saya ketika kecil dahulu.
Saya
kecil dulu pun sudah terlatih menjadi super hero. Bayangkan ketika saya menjadi
zigot karena pertemuan dua liliput kecil saya diamanahi untuk berimplantasi di
rahim. Dari sanalah saya tumbuh menjadi morula,
blastula dan gastrula hingga
akhirnya saya menjadi fetus, yang
kata penduduk dunia sayalah si bayi, pejuang tangguh!
Sejak
dalam perut saja saya telah belajar bersabar dalam waktu sembilan bulan dalam
proses Zero to Hero. Melawan virus, bakteri dan segala macam goncangan kecil karena
kenakalan Mama. Hingga melahirkan pun saya juga pernah berjuang. Saya berjuang
untuk bisa keluar dari lubang sepuluh senti menuju dunia baru yang tak lain
adalah bumi. Saya memang super hero bukan? Dan Anda pun pasti seperti saya
karena kita alumni Negeri rahim.
Tulisan ini diikutsertakan pada Lovely Little Garden’s First Give Away
4 komentar:
Luar biasa Nabila... Kisah yg inspiratif
Terimakasih partisipasinya, tercatat sebagai peserta Lovely Little Garden's First Give Away.
Alhamdulillah... terima kasih bunda sudah mau jenguk blognya:)sukses selalu:)
gak bisa ngomong apa2 dek, biar air mata kakak yang berkomentar....
hihihi ... segitu amat ya kak? pake nangis segala ehh:) kirim air matanya de mau bekukan terus disimpan di musium. Baru kk loh yang nangis baca tulisan de:) (yang de tahu) heheh
Posting Komentar