Ayo Tuliskan!!

Laman

Rabu, 10 Oktober 2012

Super Hero!


Saya jadi ngeh ketika membaca tema yang diperlombakan. Ingin rasanya saya mengukir sebaris kata hati yang  akan selalu tertuang dalam imajinasi. Zero to Hero? Apakah hal ini memang pernah ada dala hidup saya? Jika memang pernah ada kenapa Zero to Hero masih seperti roda? Kadang Zero to Hero tapi, terkadang juga terbalik menjadi Hero to Zero. Tapi yam au gimana lagi, itulah kehidupan selalu berputar makanya tak heran jika bumi bulat dan juga bisa menggelinding hingga ke penguninya. Iya apa iya? Hee …
            Dulu aku berlari cepat menembus setiap selaput
            Mugkinkah kini selaput keraguan menjadi hero akan tembus?
            Dulu kubertahan dalam ruang kecil milik Ibu hingga keluar pun aku memiliki kaput
            Mungkinkah kini aku bertahan dalm zero dan tak melangkah menjadi hero?
            Aku tak ingin duniaku penuh kabut
            Kabut takut, kecewa dalam menjalin hidup yang kini semraut
            Kuberpikir dalam batokku yang dulunya pernah membentuk kaput
            Ternyata kutercipta bukan untuk hidup semraut
            Masih ingatkah kita ketika kita kecil dulu? Belum tahu ini, itu dan banyak lagi yang kita tak tahu. Bukan dihitung sejak kita usia satu bulan atau pun lima tahun. Tapi saya yakin seyakin-yakinnya kalau kita semua tak pernah ingat bagaimana super heronya kita ketika dalam Negeri rahim Bunda dulu. Negeri yang paling luar biasa dalam dunia ini!
            Dan saya pun salah satu yang pernah hidup dalam dunia rahim. Anda juga kan? Saya yakin saya sekarang adalah mewakili tingkah saya ketika kecil dulu yang begitu menggemaskan (ngaku … tak apalah, siapa yang mau sewot? Hehe …) kenapa saya mengemaskan? Ya, sudah jelas karena semua sel-sel yang saya miliki ketika itu masih amat muda. Belum terlalu banyak terkontaminasi dengan beragam polusi, baik itu polusi masalah ataupun polusi tagihan. Tagihan? Iya karena kita hidup ini tidak gratis. Ada ibadah yang harus jadi nilai rupiah. Barter.
            Saya kecil dulu sangat super hero! Mau bukti?
            Ketika saya kecil dulu kalau jatuh pastinya saya bangkit kembali meskipun kadang harus menangis karena sakit karena ulah darah yang mengalir. Mama dan Papa memang ada untuk sudi membantu tapi, tetap saja saya yang harus berdiri. Dan tahukan Anda sekarang pun saya seperti saya kecil dahulu yang mau berani bangkit meskipun sakit. Hidup kan terus berjalan, kalau kita terjatuh masa tak bangkit? Anak kecil saja bisa kenapa kita tidak? Nah, ini buktinya:
            # Ketika saya masuk asrama dulu tepatnya masih MTs saya masih biasa-biasa saja sama seperti anak baru lulus SD. Prestasi pun masih di bawah rata-rata. Tak ada yang menarik, tak ada yang patut dibanggakan dan tak ada yang layak menjadi landasan mereka bertepuk tangan.
            Ketika di asrama dulu saya melihat langsung bagaimana tekunnya teman saya belajar hingga akhirnya dia juara satu dalam kelas untuk rapot umum. Kalau rapot pesantren saya tak pernah ikhlas mewariskan buat teman-teman lain. Saya pun tak tahu kenapa bisa begitu? Yang saya tahu namanya pelajaran Agama yang saya ingat hanya wajah Mama. Itu saja tak lebih, makanya saya begitu rajin medalaminya. Apa mungkin karena pereda rindu anak asrama?
            Ketika belajar tentang Islam yang terbayang dalam otak saya hanya Mama. Karena ketika saya SD dulu Mama yang selalu mengingatkan saya ke mesjid untuk mengaji. Dan kebetulan mesjid tempat mengaji saya ada tempat permainannya jadilah setiap jam istirahat saya gembira karena bisa bermain ayunan, timbang bolong dan lucuran. Sebelum saya masuk SD pun Mama sudah memasukan saya di taman pengajian sampai-sampai saya ketiduran ketika di mesjid, dan yang saya tahu saya sudah di rumah. Rupanya Mba saya yang menggendong ketika itu. Mengembirakan. Makanya belajar Islam buat saya menggembirakan.
            Kembali ke pebahasan awal, karena berhubung nilai rapot umum dan pesantren saya tak seimbang saya pun terpacu untuk membuatnya menjadi seimbang. Bukan dari kemauan sendiri tapi cara Allah menyadarkan saya itu yang sungguh sangat kreatif! MasyaAllah. Memang benar kebahagiaan itu datang dari adanya keseimbangan.
            Ketika itu Ustadzah Nurhayati di depan kelas mencari saya. Dia sendiri sempat heran apa saya benar adiknya Mba saya? Apa? Memang secara fisik kata orang kami tak mirip apalagi soal bisa dan tidaknya ketika PBM, Mbaku jauh lebih uggul. Sejak SD dia memang selalu masuk tiga besar. Jauh berbeda denganku yang selalu mewarisi 20 besar. Hinggga MTs pun Mba saya masih berprestasi. Saya? Memilih merangkak mencari celah baru menuju ruang prestasi yang asing.
            Anda tahu apa yang Ustadzah saya katakan? Halilintar pun mungkin mengamini meskipun di tengah siang bolong. Jilbab saya memang terasa bolong-bolong karena mendengar kata-katanya yang menurut saya seperti ledakan kenyataan yang bisa membumihanguskan sistem kekebalan alasan saya untuk tidak membantah. Membantah dengan diam yang terpenting bisa menunjukan bukti, pikir saya. Bukankah bukti itu jauh lebih dahsyat?
            “Kamu ini kok beda sekali dengan kakak kamu? Kakak kamu itu pintar biologi dan matematika. Di kelas juga dia pegang juara. Kamu? Kamu itu harus banyak belajar dari Kakak kamu. Masa Kakakmu bisa kamu nggak?” Ustadzah mata pelajaran Matematika sekaligus Biologi itu pun menyengat kesadaran saya. Saya ingin menangis. Sejak SD kata-kata itu menempel hingga selaput otak saya. Sel-selnya pun mungkin telah kriting dengan kata-kata itu.
            Entah, kekuatan dari mana yang bisa menggerakan hati saya untuk membidani lahirnya Zero to Hero muncul. Saya ingin membuktikan kalau saya pun bisa! Saya tak terima dengan kata-kata itu. Kenapa rapot pesantren saya tidak diapresiasi sekedar jadi seimbang? Kenapa bukan kata-kata untuk bisa mempertahankan nilai saya yang keluar? Kenapa harus memojokkan? Saya kesal! Hingga saya tak sadar itu menjadi sebuah dendam. Dendam positif!
            Dendam ingin menggungguli Mba saya! Itu saja. Mulailah dari situ saya belajar. Meskipun saya sadar tipikal belajar saya harus di ruangan yang sepi. Saya menunggu teman-teman tidur baru belajar. Saya belajar di ruang kosong tanpa teman. Menurut teman lain saya mungkin sombong karena tak ingin bergabung. Tapi saya tak peduli meskipun rasa tak enak itu jadi teman. Toh, saya hanya bisa nyaman belajar ketika sepi ,siapa yang mau dan bisa mengganti?
            Akhirnya dari situlah awal mula juara satu saya, baik di rapot pesantren maupun rapot umum bermuara. Hingga Aliyah saya tak pernah ikhas untuk mewarisi kepada teman lainnya! So, tidak ikhlas itu boleh kan? Namun, mempertahankan semua itu jauh lebih sulit! Tapi kesulitan yang baik itu pantasnya dirujuk pada Allah. Ya, 6 tahun saya memegang juara 1.
            # Lain lagi ketika saya masih MTs tepatnya masih kelas satu, saya mengikuti ekskul kaligrafi di samping itu saya ikut juga atletik. Hitung-hitung mencari bakat terpendam. Bukan atletik yang ingin saya kalikan panjang dan lebar tapi, lebih ke kaligrafi. Karena kaligrafi yang paling banyak menyumbang poin hero buat saya.
            Ketika itu yang mengikuti bidang kaligrafi hanya sedikit. Jari kanan dan kiri saya mungkin masih muat untuk awal-awalnya tapi, setelah proses belajar berlangsung tinggal jari kanan saya yang tersisa. Tapi bagaimanapun saya tetap antusias dengan seni kaligrafi islam ini. Mungkin pengaruh juga karena Paman saya pun hebat membuat kaligrafi. Tempelan di dinding rumah saya itu pun karya Paman saya. Di situlah saya merasa kalau kaligrafi itu indah.
            Saya dan teman-teman lain masih semangat untuk berlatih. Meskipun terkadang saya kecewa tak habisnya untuk membuat huruf alif saya bisa berdiri tegak. Tapi tetap saja dia masih belum bersahabt dengan saya. Tapi alhmadulillah semakin saya banyak menggoreskan pena perlahan alif saya berdiri tegak! Puas tapi belum cukup!
            Akhirnya saya pun belajar terus-menerus tapi masalah baru pun timbul. Hruf hijaiyah yang kami pelajari teknik penulisannya akhirnya temui sebuah akhir. Ustad kami pindah ke Gorontalo karena satu hal. Jadilah cinta bertepuk sebelah tangan. Saya tak rela Ustad pindah. Bagaimana kelanjutan kaligrafi saya? Apa hanya berujung sampai di sini saja?
            Dengan bahagia bercampur haru saya relakan Ustad pergi. Buku teknik penulisan kaligrafi akhirnya Ustad berikan pada saya. Dia meyakinkan saya kalau saya nantinya akan bisa seperti Ustad. Ustad saja yakin kenapa saya tidak? Kan Ustad saya yang lebih tahu bagaimana kemampuan peserta didiknya? Saya pun mengamini dengan berlatih otodidak.
            Dan ajang lomba pekan 17 agustus pun tiba. Saya mewakili kelas untuk mengikuti lomba untuk tingak pesantren. Setiap kelas diwakili oleh seseorang mulai dari MTs, Aliyah dan SMK. Dan Alhamdulillah saya berhasil menjuarai lomba dalam bidang kaligrafi. Dan dari situlah awal mula saya tak ingin ikhlas mewarisi juara 1 pada yang lain sekalipun kakak tingkat. Dan juara 1 ini saya pertahankan setiap 17 Agustus selama 6 tahun saya di pesantren.
            Keyakinan seorang Ustad itu ternyata benar. Jika ketika itu saya tidak meyakininya mungkin saya tak akan pernah bisa. Dan Allah lah yang memudahkan semua itu buat saya. Tapi sayang kaligrafi telah berakhir seiring saya telah lulus dari pesantren. Saya memilih menulis saja untuk sekarang ini. Tapi tetap harus ada kontaminasi konsep berpikir seorang kaligrafiler dalam setiap tulisan saya. Kaligrafi itu indah maka saya pun harus bisa menulis dengan bahasa yang indah kaya akan sastra dan makna sebagai pengganti cat. Deal?
`           Dua buah cerita yang mewakili zero to hero saya ini belum temui sebuah akhir. Karena saya masih terhubung dengan beragam mimpi. Mimpi menjadi seorang penulis dan harapan menjadi seorang bidan, itu mimpi dan harapan saya.
            Dari sinilah saya sadar, jika ketika saya kecil dulu tak pernah bisa bangkit saat terjatuh meskipun dengan alunan tangis mungkin saya pun tak bisa meraih status hero. Jadi tak salah jika saya memutusan sikap saya sekarang adalah cerminan dari sikap saya ketika kecil dahulu.
            Saya kecil dulu pun sudah terlatih menjadi super hero. Bayangkan ketika saya menjadi zigot karena pertemuan dua liliput kecil saya diamanahi untuk berimplantasi di rahim. Dari sanalah saya tumbuh menjadi morula, blastula dan gastrula hingga akhirnya saya menjadi fetus, yang kata penduduk dunia sayalah si bayi, pejuang tangguh!
            Sejak dalam perut saja saya telah belajar bersabar dalam waktu sembilan bulan dalam proses Zero to Hero. Melawan virus, bakteri dan segala macam goncangan kecil karena kenakalan Mama. Hingga melahirkan pun saya juga pernah berjuang. Saya berjuang untuk bisa keluar dari lubang sepuluh senti menuju dunia baru yang tak lain adalah bumi. Saya memang super hero bukan? Dan Anda pun pasti seperti saya karena kita alumni Negeri rahim.

 Tulisan ini diikutsertakan pada Lovely Little Garden’s First Give Away
           
           
           

4 komentar:

Niken Kusumowardhani mengatakan...

Luar biasa Nabila... Kisah yg inspiratif

Terimakasih partisipasinya, tercatat sebagai peserta Lovely Little Garden's First Give Away.

Unknown mengatakan...

Alhamdulillah... terima kasih bunda sudah mau jenguk blognya:)sukses selalu:)

Anonim mengatakan...

gak bisa ngomong apa2 dek, biar air mata kakak yang berkomentar....

Unknown mengatakan...

hihihi ... segitu amat ya kak? pake nangis segala ehh:) kirim air matanya de mau bekukan terus disimpan di musium. Baru kk loh yang nangis baca tulisan de:) (yang de tahu) heheh