Ingatkah Anda dengan kasus tawuran pelajar di stasiun panjang, Buaran, Duren Sawit, Jakarta Timur, 29 agustus 2012? ya, benar sekali! dari tawuran ini menyebabkan Jasuli (16) meninggal dunia. Korban sedang tawuran dengan pelajar lain.Tiba-tiba datang kereta api dari Jakarta arah Bekasi. Korban teseret kereta api dan mengalami luka di kepala. Tragis!
Lantas?
Melihat
dan mendengar kenyataan yang ada saat ini membuat para orang tua dan pihak sekolah
ekstra was-was. Apakah anak saya bakalan
terjerumus seperti yang sering ditonton di TV atau mendengar di media lain? Sederet
perasaan seperti itulah yang kini menjelma dalam setiap pihak sekolah dan juga orang
tua khususnya.
Jelas
saja pihak sekolah ikut terusik karena pada umumnya pelajar yang melakukan
tawuran memakai atribut sekolah seperti seragam. Belum lagi beragam argumen
dalam wacana seputar tawuran yang memojokkan pihak sekolah untuk menurunkan status/
akreditasi sekolah yang ketahuan pelajarnya menjadi pemicu timbulnya tawuran.
Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) mendata bahwa sedikitnya sudah 17 pelajar meninggal dunia
akibat tawuran di wilayah Jabotabek sejak 1 Januari 2012 hingga 26 September
2012. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya. Ada 12 pelajar yang meninggal
dunia. Data yang mengenaskan bukan?
Sementara data dari
Komnas Anak, jumlah tawuran pelajar sudah memperlihatkan kenaikan pada enam
bulan pertama tahun 2012. Hingga bulan Juni, sudah terjadi 139 tawuran kasus
tawuran di wilayah Jakarta. Sebanyak 12 kasus menyebabkan kematian. Sementara
pada 2011, ada 339 kasus tawuran menyebabkan 82 anak meninggal dunia. Jumlah
itu meningkat tajam dari tahun 2010 sebanyak 128 kasus.
Nah, melihat data
saja Anda pasti merinding akan banyaknya angka yang berderet membuat sebuah
bukti tentang kasus tawuran. Lantas apakah kita hanya diam saja? Dan hanya
berharap pada pihak pemerintah dan sekolah saja yang turun tangan. Beralaskan kita
tak terlibat dengan dunia remaja. Tapi ingat, masa depan bangsa kita ada di
tangan remaja saat ini.
Jika remajanya saja sudah merasa asyik dengan tawuran mau dibawa ke mana nama bangsa kita?
Jika remajanya saja sudah merasa asyik dengan tawuran mau dibawa ke mana nama bangsa kita?
Berikut saya akan memaparkan
beberapa cara pencegahan serta cara mengatasi kasus tawuran yang lagi marak di
Indonesia kali ini. Dilatarabelakangi akan data yang selalu membuat miris
menatap kenyataan yang ada.
Mencegah lebih baik daripada
mengobati. Semboyan kesehatan yang pantas untuk kita pakai dalam melakukan pencegahan
sekaligus mengatasi tawuran kali ini. Menurut saya hanya ada dua poin penting
untuk meminimalisir kasus tawuran di negeri ini. Yaitu dari pihak internal
(keluarga) dan dari pihak eksternal (sekolah dan media) berikut penjelasannya:
Aktifkan
Peran Orang Tua
Apa maksudnya? Hal ini jelas
mengusik status orang tua. Aktif di sini bukan sebatas bisa memberi makan,
memasukan anak ke sekolah, menyibukkannya dengan beragam les agar anak punya
kesibukkan dan orang tua pun bisa bebas untuk bekerja mencari uang demi
memenuhi kebutuhan anak. Hanya karena sibuk cari uang apa Anda rela jadi
penyebab anak tawuran?
Coba lihat saat ini? Berapa banyak
pembantu yang terdaftar dalam negeri kita ini? Karena terlalu banyak, bahkan
para pembantu sampai ke luar negeri! Beralaskan Si ibu wanita karir atau banyak
kerjaan sehingga status anak yang seharusnya begitu dekat dengan orang tua
terutama ibu justru lebih dekat dengan pembantu. Apakah kaum ibu juga tahu
kalau anaknya justru merindukan sosok ibu yang seutuhnya, bukan ibu yang
setengah-setengah seperti pembantu. Pembantu kan tidak mengandung dan melahirkan
si anak?
Hal ini sesuai dengan ungkapan
Muhammad Ihsan, Ketua Satgas Perlindungan Anak, M. Ihsan dalam keterangannya di
Jakarta, Rabu (26/9). Bahwa tawuran merupakan ekspresi kekerasan yang
ditampilkan oleh pelajar karena berbagai faktor seperti lemahnya pengasuhan dan
ketahanan keluarga, seperti perhatian dan kasih sayang orang tua, disharmonis/broken
home, perceraian dan lain-lainnya.”
Keluarga adalah lembaga pendidikan sekaligus
surga pertama yang akan dimasuki seorang anak selama di dunia. Bayangkan jika
ungkapan ini pada kenyataanya justru terbalik. Rumah teman si anak justru menjadi
sekolah pertama hanya karena temannya yang lebih perhatian. Kalau teman yang
baik bolehlah, lantas bagaimana jika sebaliknya?
Begitupun dengan istilah surga
sebagai simbol sebuah keluarga. Bagaimana anak akan merasa adanya surga dalam
dunia jika yang dilihatnya adalah perkelahian antar orang tua, saling
menyalahkan, belum lagi jika berujung pada perceraian. Apakah orang tua pernah
membayangkan bagaimna hancurnya seorang anak? Itulah makna orang tua. Bukan
sekedar bisa memberi makan atau sekolah pada anak, tapi juga bisa menjadi
sahabat atau pun teman terdekat anak. Jika si anak saja lebih percaya pada
temannya untuk curhat lantas orang tuanya di mana? Sibuk kerja? Kiranya orang
tua yang bisa menjabarkan alasan sekaligus solusi terbaik.
Jadi sudah jelas peran orang tua itu adalah yang terpenting, mengingat
kasus tawuran pada umumnya dilakukan oleh karangan remaja. Yang punya remaja
siapa kalau bukan orang tua? Bukan menyalahkan hanya sekedar lebih mengingatkan.
Semakin Dekat dan
Rekat Bukan Berarti Tak Dijerat
Bagaimana jadinya jika remaja yang tak lain adalah anak
sendiri sudah terlanjut terlibat dengan tawuran? Apa langkah orang tua agar
bisa menyadarkan sekaligus bisa mendidiknya untuk tidak mengulainya lagi? Apa
hanya sebatas hukuman lalu menyalahkannya saja karena salah?
Menghukumnya karena telah berbuat di luar aturan rumah jelas
boleh. Yang jelas tidak sampai si anak justru memusuhi orang tua karena
hukuman. Harus ada kerja sama untuk mencari solusi antara keluarga. Yang
terpenting hubungan keintiman dengan anak harus tetap dijaga karena psikis anak
pasca tawuran akan sensitif mengingat banyak yang memojokkannya karena
kesalahannya itu. Dan di sinilah peran orang tua untuk bisa mengayominya.
Bukankah di kala psikis seseorang sedang menuju derajat nol
justru butuh sebuah dukungan? Apalagi teman-temannya yang justru menjauh karena
sebagian orang tua tentunya akan memberi saran untuk tidak dekat dengan si anak
yang terlibat tawuran. Mungkin ini terlalu ekstrim. Tapi begitulah, derajat
waspada harus lebih ditingkatkan agar derajat pengobatan lebih minim tak butuh penanganan
yang lebih ekstra.
Jadi, temani anak untuk bisa bangkit dan sadar kembali bahwa
sikapnya itu sudah tak baik dan kini harus menjadi lebih baik. Ingat, orang tua
adalah sayap kanan dan sayap kiri seorang anak. Bagaimana mereka bisa terbang
jadi lebih baik ketika mereka terjatuh jika kedua sayapnya menjauh?
Guru Kreatif
Pelajarpun Tak Terbesit
Guru sekarang dan dulu apa bedanya? Mungkin pertanyaan ini
yang salah atau apa? Jika kita ingin bercermin dari sebuah sinetron tentunya
guru sekarang dan dulu sangat jauh berbeda. Guru dulu sangat dihormati
sedangkan sekarang malahan sering menjadi ledekan para pelajarnya sendiri.
Betul atau pun salah komentar saya lebih baik Anda lihat dari ruang terdekat Anda.
Guru yang bijak adalah guru yang tak hanya hebat dalam
mentransfer ilmunya tapi juga yang bisa menjadi sahabat dan pilihan untuk
tempat curhat setelah orang tua. Teman dan sahabat mungkin lebih layak menjadi
pembanding jika itu lebih baik.
Tapi lihatlah guru/dosen sekarang, sebagian tampak hanya
mengejar target kurikulum ataupun SKS tapi, belum bisa menjadi sahabat untuk
pelajar ataupun mahasiswanya. Sehingga tak salah ada kasus yang bermunculan
demo pelajar ataupun mahasiswa terhadap pihak sekolah atau kampus.
Mungkin bisa menjadi renungan bagi seorang pengajar. Apa
tujuan Anda mengajar selain mendapat gaji? Apakah ada kesadaran untuk bisa membangun
simbiosis mutualisme dengan pelajar? Atau hanya sekedar mengajar dan pergi dengan
kesibukan lain sementara suara pelajar tak lagi didengar karena menganggap status
guru di atas. Artinya superioritas yang tak kreatif.
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi
sesamanya” petikan makna hadis yang sudah tak asing di telinga, tapi masih
asing di dunia nyata. Bukankah kapitalisme yang mulai menggerogotinya? Yang penting
sudah mengajar ya sudah. Istilahnya seperti tu.
Hal ini menurut saya sesuai dengan analisa Muhammad Ihsan,
bahwa tawuran dapat dipicu oleh ketidakmampuan orang dewasa memahami dunia
anak, energi yang tidak tersalurkan dengan baik dan fasilitas yang terbatas,
tekanan sistem pendidikan yang membuat anak stress, pengaruh kelompok atau
pergaulan, pendapat dan suara anak yang tidak didengarkan, kurangnya
penghargaan terhadap anak dan pemanfaatan waktu luang.
Berapa banyak pelajar yang stress karena banyak tugas?
Sudahlah itu, bagaimana dengan masalah UAN? Bukankah karena UAN ada siswa yang rela bunuh diri? Apa sebabnya?
Anda masih ingatkan bagaimana situasi UAN yang telah menjadi rahasia umum? Menyontek
ketika UAN hukumnya menjadi halal kalau
mencontek sewaktu semester hukumnya jadi haram. Sudahlah, tak perlu bertanya di
sekolah mana? Tapi tanyakan di sekitar Anda.
Selain itu pihak sekolah juga sebaiknya lebih banyak membuat wadah
bagi pelajarnya untuk bisa berekspresi dengan minat dan bakat yang dimiliki.
Buatlah kegiatan sekolah yang lebih menarik sehingga bisa memicu kreativitas
dan aktivitasnya pelajar ke arah yang positif. Usahakan kegiatannya bisa
mengikat sekaligus memikat banyak pelajar, sehingga bisa menjadi metode sekolah
dalam meminimalisir fokus mereka ke arah positif ujungnya niat tawuran pun tak terbesit
karena masih ada aktivitas yang lebih penting dan bermanfaat.
Hukuman Sekaligus
Buktikan Tak Akan Melanggar!
Pemaparan di atas baru pencegahan, bagaimana jika pelajarnya
sendiri sudah terlibat dengan tawuran? Jelas hukuman yang terlebih dahulu telah
dimusyawarahkan bersama orang tua dan pihak sekolah harus diaktifkan. Selain
itu juga pihak sekolah harus membuat sebuah kegiatan yang bisa merekatkan
kembali persahabatan antara pelajar yang terlibat dengan sekolah yang bersangkutan.
Agar pelajar lainnya juga bisa mencontoh untuk tidak tawuran.
Jika tawuran yang dilakukan oleh pelajar dari sebuah sekolah langsung
dihapuskan status/ akreditas sekolah saya pikir belum pantas. Tapi peringatan
keras itu dulu, jika masih terulangi lagi baru dilakukan penghapusan status/ akreditasi
sekolah.
Selain itu penting juga bagi setiap pelajar yang pernah
terlibat tawuran memperoleh guru pembimbing agar keseriusan sekolah terlihat
jelas untuk menjaga jangan sampai kasus tawuran terulang kembali. Diperhatikan juga
beragam kegiatan ekstrakulikuler yang diikuti oleh pelajar yang bersangkutan, agar
pelajar merasa terawasi dan tak ingin mengulangi lagi bukan sekedar telah
melaksanakan hukuman, minta maaf dan lantas mengulangi lagi.
Media Juga harus
Mendukung!
Coba Anda ingat kembali bagaimana tontonan terbanyak yang ada
di siaran TV. Melawak sekarang telah menjadi bisnis media yang laris manis,
tentu Anda akan ingat bagaimana peran mereka yang paling sering menjadikan
sebuah ejekan sebagai bahan pemicu tertawa. Masih ingat sekaligus terbayang? Apakah
harus kekurangan dan kejelekan seseorang menjadi sebuah ajang ejek-mengejek untuk
menghasilkan rentetan tawa?
Okelah jika yang memerankan bukan mewakili kaum remaja tapi
justru orang yang terbilang telah dewasa. Bisa jadi kemungkinan besar anak
remaja kita mencontoh metode ejekan yang dipertontonkan oleh media. Ejek-mengejek
beragam kekurangan dan kejelekan orang menjadi hal yang biasa dalam dunia perlawakan
dan inilah yang pada akhirnya berkembang di dunia nyata. Begitupula dengan
berita para artis yang lebih mendominasi berita ketimbang memaparkan tetang
wacana negara.
Dari informasi kehidupan artis anak bisa belajar saling
melemparkan masalah. Si Anu yang begini tapi Si anunya justru menuduh yang si
Inu yang berbuat. Bukankah tontonan adalah hiburan yang paling khas anak
remaja? Bisa jadi contoh terbanyak pun diambil dari media karena artis adalah salah
satu idola terbanyak dari anak remaja.
Kejahatan yang disampaikan berulang-ulang akan menjadi sebuah
kebenaran. Bagaimana halnya dengan anak remaja yang secara psikologi memang
labil lantas diperhadapakan dengan tontonan yang menghibur dengan cara ejek-mengejak.
Bukankah itu bakalan jadi contoh? Bukankah maraknya tawuran hanya karena hal
sepele yang tak lain adalah karena saling mengejek. Jadi? Saya yakin Anda bisa
menyimpulkannya.
Bukankah lebih baik jika media justru berperan aktif dalam mencegah
sekaligus mengatasi kasus tawuran dengan acaranya yang terkemas untuk dunia
pelajar? Contohnya mengadakan jalinan persahabatan oleh setiap sekolah unggul
yang bebas dari tawuran dengan sekolah lain, menggelar sinetron tentang
pencegahan dan mengatasi tawuran yang diperankan oleh aktor remaja terbaik yang
memikat kaum remaja. Selain itu media bisa menghadirkan ceramah oleh tokoh agama yang membahas seputaran remaja dikemas semenarik mungkin agar remaja
tertarik sekaligus menghadirkan kalangan artis yang berprestasi. Dengan semboyan
anti tawuran tapi pro pada mencetak prestasi.
Toh, ceramah tak harus di atas mimbar saja kan? Boleh jadi
para ustad /ustadzah/ pendeta datang ke sekolah langsung berbaur bersama remaja
memberikan edukasi. Dan media juga harus terlibat aktif dengan acara seperti
ini. Agar semuanya bisa kerjasama dan terpublikasi secara merata untuk
meminimalisir angka kasus tawuran.
Demikianlah yang bisa saya paparkan. Semoga hal ini bisa
menjadi salah satu pilihan untuk bisa mencegah dan mengatasi kasus tawuran yang
melanda anak negeri.
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Indonesia Bersatu:Cara Mencegah Dan Menanggulangi Tawuran.
5 komentar:
Terima kasih atas partisipasi sahabat.
Salam hangat dari Surabaya
semoga dengan di adakannya kontes dengan tema ini bisa membawa perubahan besar bagi negara kita..
Pak Abdul Cholik, iya pak sama-sama juga ucapan terima kasihnya. Karena lomba ini bisa menginspirasi saya juga mengenal lebih dekat kasus tawuran anak negeri. Semoga bermanfat meskipun sumbangsihnya hanya sedikit.
cumakatakata ... Amin, kak:)
paparan yang menarik, saya ska poin mengenai media yang harus ikut mendukung, saya setuju dan itu akan sangat efektif jika bisa terwujud :)
Aulawi Ahmad, terimakasih sebelumnya. Iya media memang punya peran aktif dalam hal tawuran. insyallah bisa terwujud. amin.
Posting Komentar