Kenangan itu bak letusan bara
amarah. Diam, tenang namun dalam kedalamannya menyimpan bom waktu. Sejarah mana
yang tak akan teringat jika sejarah itu adalah masa keemasan ketika kita hidup.
Mudah dikenang karena dia terekam hebat dalam memori. Dalam denyutan nadi yang hangat
masih terasa hingga kini bagaimana ledakan bahagia itu meledak! Dahsyatnya sebuah
kenangan.
Ketika
itu saya kelas dua Aliyah, Alhamdulillah
ketika itu saya dipercayai menjadi ketua panitia pekan 17 Agustus di pesantren
Assalam. Sudah pastinya acara turun temurun yang tak lain menjadi warisan
setiap pergantian pengurus harus terukir kembali setiap tahun. Melelahkan tapi
menakjubkan buat saya ketika menajdi panitia!
Masa-masa
emas ini saya lewati dengan penuh semangat! Karena? Sejarah saya sungguh sangat
memprihatinkan. Ketika SD dulu, saya selalu mengungguli peringkat 10-20 besar.
Sedikit pun saya yang terbilang murid terbelakang sungguh tak terpakai. Saya
pernah merasakan itu. Bagaimana irinya ketika teman-teman yang lain begitu
aktif berpartisipasi dalam beragam lomba. Sementara saya? Masih sibuk dengan
dunia autis.
Masa
yang sungguh berbeda! Ketika saya kelas dua dan tiga Aliyah, itulah masa penuh
kenangan. Ketika kelas dua Aliyah tahun 2007 saya berhasil meraih sertifikat
juara 1 dalam 5 jenis perlombaan untuk tingkat Aliyah. Saya juara mengarang,
kaligrafi, cerdas cermat agama dan qasidah. Sedangkan ketika kelas tiga saya
meraih juara 1 untuk 4 jenis perlombaan yaitu kaligrafi, syahrinul quran,
tahfidzul quran dan mading kelas. Dan Alhamdulillah ketika kelas tiga saya
dapat jatah mengikuti lomba tingkat nasional dalam dua perlombaan. Sayangnya
satunya hangus karena saya kebelet lulus Aliyah. Hehe …
Rasa
bahagia ketika menerima hadiah itu tak terlupakan. Karena saya selama SD, 6
tahun sangat kurang merasakan bahagianya meraih hadiah. Entah, mungkin dunia
autis saya ketika itu terlalu kuat sampai-sampai saya lebih tertarik dalam
dunia sendiri ketimbang berpacu meningkatkan kelebihan yang jelas-jelas sudah
ada dalam setiap diri. Tinggal pengembangan!
Namun,
amat saya sayangkan ketika saya keluar dari pesantren. Masa-masa pekan 17
Agustus tak lagi menjadi “musim terima hadiah” tapi, menjadi sebuah kejutan
yang tergadai. Kenapa saya bilang tergadai? Karena jelas saja kejutan yang saya
tunggu-tunggu itu masih dalam alam mimpi. Padahal alam mimpi sudah mulai saya
rasuki. Saya tergila-gila dengannya yang tak lain adalah lanjutan dari hobi
saya ketika Aliyah dulu yaitu menulis.
Sejak
saya kuliah di kebidanan, pekan 17 agustus menjadi sebuah penantian kejutan di
mana ketika bulan agustus biasanya saya diberikan jadwal untuk dinas di
puskesmas. Di sanalah saya menulis laporan dan diselingi juga menulis cerpen,
artikel dan tulisan lainnya yang tak bernama. Bukankah tiap pekan 17 Agustus
selalu ada lomba? Ya seperti lomba yang saya ikuti saat ini. Sudah lama saya
tak menerima hadiah. Dan saya tahu benar hadiah itu hanya untuk orang-orang
yang benar-benar bersungguh-sungguh.
Mungkin
ketika Aliyah dulu saya bisa juara satu mengarang tapi belum tentu dengan
sekarang yang pesertanya mulai dari sabang hingga merauke. Tapi satu hal yang
tertanam jelas dalam diri saya yaitu pentingnya sebuah partisipasi. Partisipasi yang terus-menerus akan menjadi
jaminan sebuah prestasi? Iya apa iya? Heh …
Hal
ini bisa saya buktikan meskipun belum terlalu kuat. Tapi yang terpenting
kekuatan motivasi itu harus begitu kuat. Selama berstatuskan alumni Assalam
saya memutuskan untuk menulis di sampimg beragam aktivitas saya. Saya selalu
sempatkan diri untuk mengikuti beragam ajang lomba menulis cerpen. Alhamdulilah
dari sebuah partisipasi akhirnya bisa membidani sebuah prestasi. Itulah makna
17 Agustus buat saya yang selalu saya kenang ketika Aliyah dulu “Panen hadiah”.
Sampai-sampai sepupu saya bilang, “De, kok hadiahnya diborong semuanya?” hehe.
Mumpung masih muda jadi cari banyak hadiah pikir saya ketika itu.
Ini adalah buku pertama saya ketika
mengikuti lomba tapi sayang tak juara. Berdasarkan kesepakatan, tak ada rotan
akar pun jadi. Jadilah maka jadilah! Saya dan keempat teman saya memilih jalur
penerbit indi agar tulisan kami bisa terbit dan bisa berbagi manfaat buat pembaca.
Masalah honor dari buku pertama saya ini hingga kini belum ada. Tapi saya tetap
bersyukur karena ada yang mau membaca tulisan saya. Setidaknya rasa plong dan puas ketika selesai menulis itu
ada mata rantainya yang bisa menjadi penghubung untuk bisa saling berbagi.
Nah, kalau yang satu ini adalah
buku kedua saya ketika saya berpartisipasi dalam sebuah lomba menulis cerpen
yang bertemakan “Family”. Alhamdulillah
cerpen saya masuk dalam antologi meskipun, belum bisa menjuarai perlombaan.
Saya meyakini satu hal bahwa roda kehidupan sang juara pasti akan berputar.
Mungkin kali ini saya di bawah tapi ke depannya saya pun harus bisa di atas?
Kalau di bawah terus kan saya capek. Hehe …
Yang di atas juga kan kudu harus
mengalah. Siapa tahu juga kan ketika kesempatan tiba dianya tak ada? Kan bisa
ambil posisi? Tapi saya meyakini hukum kausalitas sebuah prestasi.
Kalau si biru “Mencintai Angin” ini
adalah buku ketiga dari antologi saya bersama teman-teman FLP SULUT.
Alhamdulillah meskipun terbitan indi saya bisa bersyukur. Setidaknya rantai
ilmu yang saya miliki bisa tersambung dengan yang lain. Bukankah sebuah tulisan
itu abadi? Nah, saya pun ingin mengabadikan inspirasi saya yang tertuang dalam
bentuk cerpen. Jika saya ingin membuat sejarah maka saya harus menulis! Itu
prinsip saya.
Bukankah RA kartini lebih dikenal
dari pejuang wanita lainnya? Karena apa? Ya, karena dia juga menulis sehingga
semua alur kehidupannya terekam jelas dalam kepala kita.
Berawal dari buku ini juga saya
bertemu dengan adik saya. Bukan adik sungguh tapi adik status pilihan saya
karena berhubung adik saya itu adalah murid dari Ustad saya yang luar biasa!
Darinyalah juga saya termotivasi untuk terus menulis dan menulis. Tak mungkin
kan saya masuk dalam kategori penulis cerpen dalam antologi ini lantas tak bisa
menjadi motivator buatnya untuk bisa menulis. Apalagi jiwa bungsu saya yang tak
ingin dikalahkan. Jadilah saya lebih termotivasi jika ada yang lebih muda dan
mau belajar dari saya dalam hal menulis.
Buku selanjutnya adalah antologi
“Sketsa Cinta”, di antologi ini juga ada salah satu cerpen saya yang ketika itu
Alhamdulillah bisa dimuat dalam
antologi. Meskipun saya katakan sekali lagi belum masuk tiga besar yang bisa
menjuarai.
Cerpen
yang saya buat di sini dilatarbelakangi karena saya sempat nggak mau makan gara-gara putus cinta. Akhirnyalah saya beruntung
bisa bertemu dengan kemuculan lomba untuk menuliskan kisah cinta dalam bentuk
cerpen. Maka ikutlah saya membawa sejarah terpedih (ceileee … itu kan dulu
sekarang tidak). Dari sini saya belajar, stress itu boleh yang terpenting
stress positif yang bisa bermanfaat buat diri dan kalau bisa juga buat orang
lain.
Pekan
17 Agustus memang sejarah terindah buat saya. Saya tak ingin berhenti
mengenanganya. Semakin saya mengenangnya maka sudah pasti akan memacu mimpi
saya untuk tidak sampai puas menggapai prestasi. Prinsip saya bersyukur itu
pasti tapi untuk puas mencetak prestasi hukumnya haram. Hehe ..
Prestasi itu luas bukan sebatas lomba lalu
menang atau kalah. Yang terpenting adalah kita tak bosan-bosannya untuk selalu
aktif dalam berpartisipasi. Siapa tahu juga kan, berawal dari partisipasi tak
ahunya lahir sebuah prestasi?
Itulah kenangan saya setiap kali tanggal 17 Agustus. Tak ingin saya lupakan karena hanya dengan kenangan itu bisa memicu saya menjadi lebih baik!
Postingan kali ini Untuk ikut meriahkan Kontes Kenangan Bersama Sumiyati-Raditcelluler
2 komentar:
benar-benar Prestasi Dek...
lanjutkan Dek,
kakak aja Bangga, apa lagi papa dan mama....
salam kangen buat keliarga di kilu...
Alhmdulillah kakq:)
Doain de juga lho biar tiap tahunan bisa pnane lagi :) kk jug tetap semangat. De salut sama tulisan kk yang up date:) jadi ngiri kalo liatnya, kak:(
Iya, entar de sampein salamnya. Salam kangen juga buat k'kiki:)
Tulisan kk yang dikirim di email ternyata yang di blog lebih bagus_hheh. Tugasnya kalo gitu berakhir:) ntar de up date di blogx kk aja:)
Posting Komentar