Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya yang berhubung sedang diikutkan lomba. Awalnya profil guru yang kubuat ada tiga tapi nggak tahunya ada informasi ralat. Jadi deh tulsan ini bisa mejeng di blog sendiri.
The next .....
Kisah kepergian seorang guru tak habis sampai di situ saja menemani masa-masa pencarian emasku ketika Tsanawiyah. Di mana semua teman-teman ketika itu sedang asyiknya berlomba-lomba menunjukan beragam bakat yang dimiliki. Ketika itu juga hobi menggambarku ketika SD tak tersalurkan karena tak ada yang mengajariku teknik menggambar di pesantren.
Setelah melihat-lihat beragam jenis bidang ekskul yang ada, akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti bidang khat yang ketika itu masih sedikit dilirik oleh para santri. Aku masih ingat betul dalam setiap kali latihan hanya ada enam santri yang mau terjun belajar di bidang ini. Sungguh tak membangkitkan gairah semangat jika seandainya semangat itu hanya dipengaruhi dari banyaknya peminat.
Makin hari peminat khat makin membentuk ukuran kerucut jika dilihat sejumlah peminat yang masih memilih menetap. Padahal metode yang berhasil aku baca ketika itu bolehlah terbilang kreatif untuk mencari peminat karena kami belajar menulis tepat di bawah pohon ketapang beralaskan karpet dengan meja panjang tempat kami belajar mendesain bakat. Di setiap sore dan hari minggu pagi kami selalu dilatih untuk membuat huruf-huruf hijaiyah yang terbilang sulit untuk bisa selincah Ustad Ismail, guru khat kami sewaktu itu.
Ketika itu latihan sore tepatnya di bawah pohon ketapang yang meneduhkan kami sambil sesekali aku mengintip santri-santri lain yang sedang berlatih bermain voli, basket yang menjadi pilihan terbanyak diminati. Kami berlatih mencontoh goresan-goresan huruf ustad di samping latihan juga di asrama.
Tiba-tiba Ustad Mulyadi Nurasyid, guru yang paling ditakuti para santri karena ciri khasnya yang tegas jika ada santri yang terlambat sholat. Beliau memperhatikan goresan-goresan huruf hijaiyah kami yang masih tertatih- tatih berdiri layaknya pengamat yang mencari santri berbakat.
Beliau berhenti ketika melihat lembar kertasku. Dan spontan beliau berkomentar, “Ustad, kayaknya ini yang bakal jadi penerusmu kalo antum sudah nggak ada” ucap Ustad ketika itu yang membuat hatiku bertambah semangat untuk terus menegakkan Alifku yang masih terbilang belum tegak betul, mungkinkah niatku juga belum setegak alif yang kubuat?
“Hardiyanti, teruslah berlatih biar bisa sehebat Ustad Ismail!” Sapa ustad ketika itu yang membuatku tak henti-hentinya mengingat dan mengamini setiap bait kata-katanya yang berhasil aku rekam dan kusimpan dalam kotak melodi hati karena nada-nadanya yang padat dan berisi berhasil menjadi nutrisi baru yang aku konsumsi.
Ustad Ismail terbilang pengajar baru di pesantrenku ketika itu. Mesjid yang menjadi area belajar, tempat ibadah dan ruang serbaguna yang terbilang polos kini mulai menjadi wilayah pertunjukan seni. Seni khat, mulai dari Khat Naskhi, Diwani, Diwani jali hingga khat Khufi semua tertoreh indah membentuk goresan penyejuk mata ketika memasuki mesjid.
Ustad membuatnya dengan penuh semangat. sampai-sampai aku berpikir apa aku bisa seperti Ustad? Hebat dalam menuangkan campuran warna yang tampak berkombinasi memberikan efek sejuk dan damai untuk ukuran mata. Tapi, apa iya aku bisa? Masa sampai naik-naik tangga untuk mengecat dasar warna selanjutnya melukis dinding-dinding dengan khat? Bukannya itu tugas pria saja? Apakah wanita juga bisa?
Beriring waktu tinggalah aku dengan seorang teman yang masih setia belajar khat sampai di penghujung kelas dua Tsanawiyah.
Namun sejarah terulang kembali. Ustad akhirnya pindah ke Gorontalo tanpa memikirkan tugas perkembanganku yang masih belum usai. Ingin sekali aku mengatakan jangan pergi karena guru yang di sini hanya Ustad Ismail yang bisa diandalkan untuk menjadi pelatih. Tapi, semuanya hanya terjawab dengan pemberian dua buah buku teknik membuat khat yang Ustad hadiahkan hanya untukku.
“Nih, ustad titipkan bukunya. Insyallah kamu bisa seperti Ustad” Ucapannya terakhir ketika aku menanyakan kapan akan latihan lagi. Aku hanya terpukul kenapa di saat aku telah mulai mencintai sesuatu selalu saja sesuatu itu harus pergi. Aku harus belajar mandiri lagi tanpa seorang guru yang menjadi motivatorku ketika aku mulai merasa tak mampu lagi.
Sejak saat itu buku warisan Ustad aku jadikan media pengganti kehadirannya. Aku tak pernah lupa kata-kata ustad terakhir. Dan semuanya jelas terlihat di setiap kali lomba tujuh belasan di pesantren yang tiap tahunnya diadakan. Aku yang selalu menjuarai hingga mendekati kelulusan dan menjadi juara bertahan. Pada ivent PORSENI, utusan mewakili pesantren juga aku pernah menyumbangkan juara.
Bukunya mengantarkanku menjadi sosok yang mandiri dan penuh semangat meskipun guru tak ada di samping karena guru sebenarnya itu ada dalam luasnya sanubari. Yah, Ustad Ismail yang pernah mengukir indah dalam sejarah hidupku seindah goresan khat yang meramaikan mesjid dengan gayanya yang khas membuatku cemburu.
Sebongkah rindu untuk Ustad Ismail yang pernah mewarnai kanvas ajang olah bakatku. Maafkanku yang sejak lulus Aliyah tak lagi berkutat dengan dunia khat. Tapi aku janji goresan cat-cat yang telah terlewat akan aku gantikan dengan sebuah goresan yang berbentuk berbeda namun akan aku warnai dengan beragam macam hikmah dari banyaknya bentuk khat. Kumencintaimu karena Allah, wahai Ustad.
Sejenak kuberdiam dalam alunan pikiranku. Aku bertanya-bertanya, mengapa setiap guru yang ternyata kukagumi selalu saja akan pergi sama halnya dengan guru-guru dimasa Tsanawiyahku. Kejadian seperti ini berlaku juga didunia kampu yang tengah aku jalani sekarang ini. Sinyal-sinyal masa lalu mulai menampakan keberadaannya kembali bahwa aku akan berstatus sama dengan masa sebelumnya. Ditinggal pergi sebelum waktunya!
Aku terkadang berpikir kalo status dunia otakku seperti premature karena aku terlahir sebelum masa aktif mereka habis menurut kapasitasku sebagai seorang pelajar. Ketika aku belum terlalu cerdas untuk menyempurnakan beragam pembentukan sistem kerja tidak tahunya mereka pergi beitu saja.
Guruku, pergilah kau! karena kau selalu kunanti dalam setiap bait doa pilihanku. Kau selalu kunanti dalam bayang-bayang usia belia yang kau tinggal pergi. Kau selalu kunanti karena aku masih terbilang premature untuk kau tinggali. Kau selalu kunanti dalam setiap sambungan sinapsis yang menjadi interkoneksi awal otakku berfungsi dengan jernih. Kau memanag pantas menyandang gelar Nurhayati.
Guruku, pergilah kau! Pergilah dengan beragam alsanmu karena aku tahu segala sesuatu yang terjadi pasti punya alasan. Didunia ini tak ada yang tak beralasan, jikapun ada mungkin itu semua disebabkan karena pikiranku belum terlalu dalam dan tajam untuk bisa menemui dimana titik alasannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar